Kamis, 23 Juli 2015

Cerpen: Katakan Saja I Love You....

Jatuh cinta  itu adalah hal biasa dan semua orang pasti merasakannya, tak terkecuali Johan. Johan adalah seorang remaja yang baru saja menyelesaikan studinya di kampus ternama di luar negeri. Johan merupakan tipe pria mandiri, ganteng dan supel, tetapi Johan belum pernah sekalipun merasakan apa yang namanya berpacaran. Maklum saja, Johan merupakan anak rumahan dan anak satu-satunya di keluarga dan sangat di manja oleh Ibunda-nya.

Berkisah dalam suatu kesempatan setelah pulang dari studinya di luar negeri, Johan berkenalan dengan seorang gadis berperawakan cantik, dengan rambut agak keriting dan berponi, si Gadis itu bernama Anita.

Awal perkenalan Johan dan Anita terjadi ketika sang teman Kevin yang merupakan sahabat Johan dan juga teman dari Anita ingin sekali memperkenalkan Johan dan Anita, maklum saja Kevin tahu betul bagaimana sahabatnya itu yang belum pernah berpacaran dan juga Anita yang baru saja putus dengan kekasihnya.

Kala itu, Kevin sebagai mediator mengajak kedua insan yang sedang single ini untuk bertemu. Kebetulan Kevin sedang mencoba menjodohkan Anita agar segera move on dari mantannya. Dan pertemuan terjadi antara mereka bertiga.

Waktu berlalu, Johan dan Anita semakin akrab satu sama lainnya. Johan pun sudah beberapa kali jalan bareng dengan Anita yang merupakan seorang pekerja di sebuah perbankan ternama. Sementara Johan merupakan wiraswasta yang melanjutkan bisnis Ayah-nya.

Hampir 4 bulan perkenalan mereka dan Johan merasakan ada rasa yang berbeda ketika bersama Anita, demikian sebaliknya dengan Anita. Anita pun merasakan rasa yang sama seperti Johan rasakan.

Suatu hari, Johan bercerita kepada Ibunda tercintanya mengenai rasa yang Ia rasakan kepada Anita, dan kebetulan Ibunda dari Johan pun sudah dikenalkan kepada Anita.

"Bu, aku lagi bingung." ucap Johan kepada Ibunda-nya.

"Aku tak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaan ini kepada Anita," sambung Johan.

Sang Ibu lantas menghampiri Johan sambil mengusap kepalanya.

"Ngapain bingung. Apa yang kamu rasakan kepada Anita? Kamu suka sama dia?." ucap sang Ibu.

Dengan raut wajah malu, Johan agak sedikit terdiam sembari memeluk Ibunya.

"Iya bu, kayanya aku suka sama dia. Tapi aku tak tahu harus bilang apa." sahut Johan.

Dengan nada agak sedikit berbisik si Ibu berkata, "Kalau memang kamu sayang sama dia ungkapkan ke Anita. Agar dia tahu kalau kamu memang sayang dia, walaupun kamu sudah lakukan apapun tetap kamu harus ungkapkan." ucap si Ibu.

Sambil menggarukkan kepala nya Johan berdiam diri di pangkuan si Ibu,

"Tapi bagaimana cara mengungkapkannya ya Bu? Aku tak tahu harus bilang apa sama dia."

"Kamu bisa bilang sama dia 'Aku cinta kamu', Kalau kamu tidak bisa, kan kamu bisa bahasa Inggris, kamu bilang aja I Love You. Mudahkan?." ujar si Ibu.

Dengan anggukan kepala lalu Johan bergegas pergi ke dalam kamar. Tak lama kemudian Johan pun izin pergi kepada Ibunya.

"Bu, aku jemput Anita dulu ya.Sekalian aku mau coba ungkapkan seperti Ibu bilang."

"Hati-hati di jalan. Semoga berhasil ya nak." pesan si Ibu.

Setelah mendapatkan wejangan dari sang Ibunda, akhirnya Johan pun yakin dan memberanikan diri untuk mengatakan perasaannya.

"Anita aku ingin katakan sesuatu padamu." ujar Johan.

"Mau katakan apa? Kayanya penting banget nih." seru Anita sembari menatap Johan.

Johan pun menggenggam kedua tangan Anita bak film-film di bioskop.

"I Love You." singkat Johan.

Anita dengan raut muka kaget hanya bisa terdiam dan tak mampu mengatakan apapun kepada Johan, namun dengan keyakinan diri nya Johan meyakinkan Anita tentang perasaannya.

"Katakan saja I Love You." sembari tertawa mencoba menghibur Anita.

Anita pun tersenyum dan mencoba menahan ketawanya sembari tetap memandang wajah si Johan.

"I Love You too." ucap singkat Anita sembari melemparkan senyum manisnya ke Johan.

**********


DenChito








Rabu, 22 Juli 2015

Cerpen: Sonya

Malam ini tepat setahun telah berlalu, sejak terakhir kali kita bertemu dulu. Belum lama memang tapi rasa rindu ini tak bisa dibohongi dan juga tak bisa untuk ditutup-tutupi.

Telah banyak hal yang terjadi setelahnya. Tapi tetap saja aku tidak bisa untuk melupakanmu, bagaimana raut wajahmu yang mungil berbalut jilbab biru kesukaanmu tertawa terbahak-bahak dengan hal-hal konyol yang aku perbuat atau sebaliknya.

Bagaimana raut wajah ngambekmu kala kamu sedang marah padaku dulu. Dan kenangan ketika kedua tangan kita bergandengan saat menikmati malam di sudut kota.

Malam hari di bulan Juli, kala itu di sebuah stasiun kereta aku mengantarkanmu untuk pulang ke Semarang. Dengan mata berkaca-kaca, kau menahan air mata sembari menggenggam tanganku dengan erat. Ah... ini tak biasa, sahutku dalam hati kecil.

"Aku ingin katakan sesuatu, tapi kamu janji jangan marah."

Dengan bingung, tak tahu apa maksudnya. Aku pun hanya mengangguk dan terdiam tak tahu harus apa. Lagipula yang kutahu aku hanya ingin mengantarnya ke stasiun untuk naik kereta yang akan mengantarnya pulang ke kota tempat asalnya.

Di situ, kau berpamitan sembari menatapku dalam. Dan, ah, aku benar-benar tak pernah lagi melihat mata seindah mata itu serta pelukan hangat darimu.


Ahhhh..... Aku tak tahu apa yang aku rasakan, tapi aku seakan terpana melihatmu  dan tak ada yang mampu aku ucapkan kepadamu. Yang ku tahu rasa nyaman dan hangat kala bersamamu.

Sampai pada akhirnya, kau mengucapkan kata yang membuat diriku seakan tak rela melepas genggaman tanganmu yang sedari tadi menggenggam erat jari jemariku.

"Ayahku memintaku untuk pulang ke Semarang, dan kamu pasti tau maksud Ayahku. Aku pun mau ga mau harus nurutin mau Ayahku."

Dengan rasa terkejut, aku pun berdiam seribu bahasa, Yang ku tahu hatiku terasa pilu mendengar perkataanmu dan tak mampu lagi melihat nanar matamu yang kian berkaca-kaca.

"Tapi....... kita tetap masih bisa berhubungan kan?" ucapku sembari terbata-bata.

Tanpa kusadari air mataku pun jatuh, dan dia pun hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaanku.

Ia memelukku. Untuk yang terakhir kalinya. Dan Ia hanya tersenyum seakan seribu kata yang ada dibenakku yang ingin kubisikkan di telinganya telah Ia mengerti tanpa harus di utarakan kepadanya.

"Aku tak ingin kamu pergi. Aku ingin terus bersamamu. Nanti siapa yang akan aku isengin kalo tak ada kamu di sisiku." bisikku.

Sembari melepas pelukan eratnya, dan tertawa lirih. "Maafin aku ya." ucapnya sembari menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Mungkin nanti akan ada wanita lain yang akan menggantikan aku. Ini ada buku diary ku mungkin bisa kamu baca isinya untuk melepas rindumu suatu hari nanti." sembari memberikan buku diary-nya di akhir pertemuan kita.

Tak berselang lama, kereta yang akan membawanya pulang pun datang dan Ia pun dengan langkah pasti perlahan-lahan meninggalkan aku sesekali menoleh ke arahku.

Ia menangis tersedu-sedu. Aku meminta maaf. Sampai akhirnya perlahan gerbong kereta yang ditumpangi dia pun melintas di depanku.

Kau masih menengok dan melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya kereta perlahan-lahan hilang dari pandanganku.

Sembari berjalan keluar dari stasiun, aku pun terus membayangkan wajah mungil nan lucu-nya sambil menggenggam erat buku diary pemberiannya.

Masih teringat jelas bagaimana lucu suaramu ketika tertawa riang. Masih ingat sepatu teplek yang kau bilang sepatu kesukaanmu. Masih ingat jelas wangi dan mata indahmu.

Aku tak kan tahu akan seperti apa esok, yang pasti ku tahu, kau adalah Sonya.

*********


DenChito

Minggu, 12 April 2015

Cerpen: Rosa

Jam di tanganku menunjukkan pukul 17.00, sudah satu cangkir kopi kuhabiskan dan ini kali kedua kopi yang kupesan selang hampir 1 jam di sebuah kafe di pusat kota. Sembari mengetik artikel dan memandangi hilir mudik orang-orang yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, maklum penulis yang sedang dikejar deadline jadi harus segera menyelesaikan artikel-artikel.

Oya.... Aku seorang penulis lepas di sebuah media terkemuka di kota ini, namaku Dion. Aku anak lelaki satu-satunya di keluargaku. Aku tipikal cowo humoris dengan gaya urakan bak gembel jalanan (kalau kata Ibuku) dengan gaya celana jeans belel, rambut gondrong dan tato di punggung dan lengan kananku.

Ditemani secangkir kopi untuk kali keduanya, dan sebatang rokok serta tak ketinggalan sebuah komputer jinjing (laptop) beserta bahan-bahan tulisan, aku asik bercengkrama dengan kesibukan menulis sembari sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokok yang sudah terbakar setengah batang.

Selang beberapa menit, datang seseorang sambil menegur namaku. Awalnya tak tahu siapa, namun ketika melirik ke arah wajahnya, aku teringat akan senyum manis yang tersimpul di wajahnya. Yaaa..... Dia Rosa... Seorang gadis ayu yang pernah singgah dihatiku.... Dor..... Jantung dan darah seperti terasa mendarat turun kebumi setelah menengok dan melihat wajah ayu-nya. "Hai..... Dion kan?," ujar sang gadis. "Iyaa... kamu....... (mikir) hmmm... Rosa ya?," ujarku membalas sapaannya.
"Iya bener... Ya ampun akhirnya kita ketemu lagi ya... hehe," ucap Rosa sembari tertawa dan menjulurkan tangannya mengajak salaman.

Dan akhirnya dia pun ikut duduk di meja yang daritadi kutempati seorang diri, obrolan demi obrolan pun kami gulirkan. Oya... Rosa kebetulan datang ke kafe itupun sendiri jadi aku dan dia bisa leluasa ngobrol tanpa ada gangguan.. hahaa..

"Eh, kamu sering kesini?," tanyaku sambil mengangkat cangkir kopi yang tadi. "Hmm.. jarang sih, cuma tadi kebetulan pengen aja dan niatnya sambil nunggu macet jadi aku mampir kesini," jawabnya sembari tersenyum menatapku.

Hampir 1 jam kita mengobrol santai, dan akhirnya kita pun menyudahi pertemuan tak disengaja ini. "Ion, aku izin pulang duluan ya, kamu masih lama ya?," ujar Rosa dengan nada manjanya. "Hmm... aku sih udah selesai kerjaannya, kamu mau pulang?," balasku. "Iya... aku mau pulang, udah ga begitu macet kayanya jalanan deh," jawabnya kembali dengan nada manja yang menyesakkan hati.

Namanya lelaki ya aku pun mencoba bergaya layaknya seorang lelaki sejati jadi aku pun menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, "Mau pulang bareng ga? kebetulan aku bawa motor dan helm 2," tuturku. "Loh, kamu emang ga kemana-mana lagi?," ucapnya sembari memberikan raut muka heran.

"Ga kok, kalo mau bareng, ayo bareng aku aja.. Masa pulang sendirian kamu, ga tega akulah," tegasku sembari memasukkan laptop kedalam tas selempangku dan mematikan rokok ditangan.

Dan Rosa pun mengiyakan ajakanku untuk pulang bareng. Dan kita pun bergegas keluar dari kafe yang sudah kusinggahi hampir 2 jam itu menuju ke parkiran motor yang tak jauh dari kafe. "Sini aku bawain tasnya, kayanya berat banget," tuturku kepada Rosa sembari keluar dari pintu kafe bersama dan mencoba membantu membawakan tasnya. "Ga apa-apa kok udah biasa," ujarnya sambil memberikan senyum manis yang terakhir kali kulihat 5 tahun silam.

Oyaaa tertinggal... Rosa sekarang dan dulu tidak ada bedanya, hanya bedanya Rosa sekarang menggunakan jilbab dan menurutku lebih cantik. Weew.... Hatiku pun mulai tak karuan, dan sesekali aku pun salah tingkah di depannya maklum sudah hampir 5 tahun tidak bertemu sejak kita memutuskan hubungan sebagai sepasang kekasih.

Canda tawa pun mengiringi langkah kita menuju ke parkiran motor yang berada di sudut kafe, sampai di parkiran motor Rosa pun masih tak percaya akan aku antarkan. "Kamu yakin ga kemana mana lagi? Mau anterin aku pulang."

Dengan nada lembut dan sedikit tawa aku mengatakan "Iyaa yakin banget kok, emang kenapa?," sembari menyodorkan helm untuk dipakainya.

"Hmmm... gpp sih cuma aku kasihan aja sama kamu dan takut kamu ada janji," ucapnya. "Hehehe... tenang aja, aku udah ga ada janji kok, dan kita kan memang searah pulangnya," meyakininya. "Oyaaaudah kalo gitu," jawab Rosa sambil mengenakan helm yang aku berikan kepadanya.

Dan aku pun menstater motorku. Breng breng breng... motor butut pun menyala dan Rosa pun segera naik ke motor untuk kuantarkan pulang dengan motor hasil keringat dan usahaku selama ini hehe...


DenChito








Rabu, 11 Maret 2015

Cerpen: Tentang Dia (part II)

Pernah suatu ketika saat dalam perjalanan menggunakan kereta menuju ke Jogja, aku bertemu sosok wanita misterius yang cantik jelita dengan balutan jilbab merah muda dengan setelan celana panjang berbahan jeans berwarna hitam dan serba terlihat sederhana namun aku sukaaaaa.... Kala itu kukenal namanya Vanda. Ya... nama itu selalu terngiang dalam benakku bahkan sampai terbawa mimpi olehku, bahkan aroma wangi tubuhnya pun masih menempel dihidungku hehehe... Maklum Aku SUKAAA....

Paras cantik wajahnya kala itu, masih teringat jelas olehku. Dan perpisahan di stasiun pun dengannya yang belum sempat kuminta nomor telponnya pun masih terasa penyesalannya, maklum lagi dan lagi aku suka... hehe

Mungkin benar kata orang jika jodoh ga kemana, buktinya setelah sekian lama tak bertemu, aku menemui kembali wanita yang pernah kujumpai di stasiun yang memiliki senyum manis bak teh manis hangat yang ku sruput saban sore. Kali ini ku temui lagi Ia di stasiun kereta, ahhh... ini seperti sinetron, ucapku dalam hati. Walau kulihat dari kejauhan, namun aku yakini bahwa itu memang Vanda, wanita cantik yang kukenal kala perjalanan menuju Jogja.....

Dorrr..... sambil mengumpulkan nyali menegur dan mendekatinya, aku membayangkan apa yang akan diresponnya saat aku menyapanya nanti, pikiran-pikiran tak karuan pun menghinggapi kepalaku yang semakin membuat ciut nyaliku yang dasarnya aku memang seorang penakut jika berhadapan dengan wanita.

Sembari mengangkat ranselku, aku pun akhirnya beranikan diri untuk mendekat walau perasaan hati tak karuan.. Detak jantung pun terasa cepat sekali dan bahkan darah-darah yang mengalir di tubuhku serasa langsung hilang... Duuuaarrr.... ahhh tidaaaakkkk... dia menoleh kearahku sembari melemparkan senyuman khasnya yang hampir mematikan detak jantungku seketika........... ahhhh Akuuuu suka, ujarku dalam hati....

Setelah beberapa langkah akhirnya kuhentikan langkahku, karena kuyakini senyumnya tidak mengarah kepadaku, dan akhirnya ku menoleh kearah belakangku... Dan benar saja, sesosok lelaki dari kejauhan berlari sambil melambaikan tangan kearahnya. Duhhhh bodohnya aku sudah mati kaku melihat senyumnya.

Sambil memantaunya dari jarak tidak begitu jauh aku terus melirik kearahnya menunggu momen yang tepat untuk menghampirinya. Selang beberapa menit, sosok lelaki itu meninggalkan dia, entah kemana tapi akhirnya nyaliku kembali membara. Dengan perasaan tak karuan, aku pun mendekatinya dengan gayaku yang rada kaku dan grogi.

"Hai.... Vanda ya?," ucapku sembari merasakan getaran yang dahsyat di badanku. Dan Ia pun menolehku dengan wajah heran, sambil mengenakan kacamata yang terselip di saku kemeja kotak-kotak berwarna biru hitamnya, Ia pun membalas sapaanku, "Heiii... Iyaa. Kamu?? hmmm...," dengan suara manja dan muka herannya, lalu aku membalasnya "Aku Egi," singkatku.

Duhhh... Ini tidak seperti di sinetron yang mudah mengungkapkannya loh.... "Hmmm... Egi? Egi mana ya?," ucapnya dengan muka heran sesekali merapikan tas ransel cokelatnya yang agak terlihat berat. "Egi yang waktu itu ketemu di kereta ke Jogja, masih ingat?," terangku kepadanya dengan keringat mengucur dari kepalaku....

Entah mempersingkat atau memang masih ingat dia pun tertawa sambil mengatakan "Ooooo Egi...." ucapnya sembari terdiam beberapa saat "Yaaa... yaa... Egi yang waktu itu duduk disebelahku ya, yang kita mengobrol sepanjang jalan hahahaha," sambungnya.... Daaaarrrrrrr senangnya bukan main dia masih mengingatku walau sudah lumayan lama tak berjumpa bahkan aku pun tak sempat menanyakan nomor teleponnya waktu itu.

Dan akhirnya setelah Ia berhasil mengingatku, perasaan tak karuanku pun perlahan hilang. Sembari mengobrol dan canda tawa akhirnya sosok lelaki yang tadi bersama dia sebelumnya datang kembali menghampirinya membawa tiket kereta. Dengan wajah heran si lelaki pun menanyakan sembari berbisik kepada Vanda. Vanda pun mengenalkan sosok lelaki yang kubilang lebih ganteng dariku (merendah ceritanya) "Gi... kenalin kakak aku nih," ucapnya sembari menunjuk sosok lelaki itu.

"Oyaa bang... Gw Egi temannya Vanda," ucapku sembari menjulurkan tangan kananku. Dan lelaki itu pun membalas sapaanku juga menyodorkan tangan kanannya, "Gw Beni," katanya.

"Lo mau ke Jogja juga?," sambung lelaki yang berperawakan tinggi besar. "Iya bang, gw ke Jogja juga," ucapku. "Oh kalau gitu gw titip adik gw ya, dia sendirian soalnya," terang si lelaki yang dibilang kakaknya. Dan dengan gaya lelaki sejati aku pun menjawab "Siap bang."

Tak lama setelah berkenalan denganku, lelaki yang bernama Beni itupun akhirnya meninggalkan aku dan Vanda. Dan aku pun kembali melanjutkan obrolanku dengan dia, "Eh kamu mau ke Jogja toh? kok bisa barengan ya hehe," Vanda pun menimpali pertanyaanku "Iyaa yaa kok bisa bareng, keretanya sama lagi ya," sambil menyocokkan tiket keretanya.

Tak berselang lama, akhirnya kita pun masuk ke kereta yang sama. Dan aku pun berinisiatif untuk mencoba duduk di gerbong dan bangku yang sama serta membawakan tas ransel cokelatnya yang kupikir mengurangi beban bawaannya dan berharap kursi yang disebelah si dia mau untuk ditukar. Duuuuaaaarrr... Memang Tuhan Maha Baik, mengabulkan doaku seperti kala pertama kali aku bertemu dengannya, orang yang duduk di sebelah dia pun mengiyakan permintaanku untuk bertukar tempat duduk walau gerbong nya rada jauh loh.. hehehee...

Akhirnya aku dan dia pun duduk bersebelahan di kereta itu, dan kereta itu pun menjadi saksi keakraban kita selama perjalanan di Jogja. Oya.... kali ini aku sebelum lupa dan menyesal, aku pun meminta nomor teleponnya, ya itung-itung untuk menjaga silahturahmi hehe... Dan dia pun memberikan nomornya kepadaku.

Duhhh.... sungguh hari itu terasa menyenangkan dan tak tergambarkan dengan kata-kata. Wanita misterius yang kali ini dibalut dengan jilbab berwarna biru tua dan berbaju kotak-kotak biru hitam dengan padu padan jeans birunya akhirnya bisa kutemukan kembali.

Pagi harinya setelah sampai di Stasiun Tugu, Jogja kembali kami pijakkan kaki di kota Pelajar namun kali ini perpisahan kami tidak sampai di stasiun saja, namun aku mengantarkannya sampai ketempat tujuannya yaitu rumah Pakde-nya. Berhubung amanah yang diberikan oleh kakak nya di stasiun sebelum berangkat jadi aku harus penuhi, aku pun menemani dia sampai tujuan dengan menggunakan becak maklum tidak begitu jauh dari stasiun, rumah Pakde-nya. Dan rona bahagia terpancar dari wajahnya dan suara lembut yang menusuk relung hatiku.

"Eh Gi makasih ya sudah nemenin aku dan nganterin aku sampai rumah Pakde ku hehee," tuturnya dengan suara merdu yang menggetarkan hatiku. "Hehe iyaa sama-sama, aku juga makasih loh," balasku.

Setelah bertemu sebentar dengan Pakde-nya, aku pun pamit untuk kembali melanjutkan perjalananku menuju kerumah orang tuaku yang terbilang agak jauh. Dan perpisahan kali ini dengan si Vanda 'Gadis Misterius' pun berakhir tanpa penyesalan.....

*******

DenChito