Rabu, 22 Juli 2015

Cerpen: Sonya

Malam ini tepat setahun telah berlalu, sejak terakhir kali kita bertemu dulu. Belum lama memang tapi rasa rindu ini tak bisa dibohongi dan juga tak bisa untuk ditutup-tutupi.

Telah banyak hal yang terjadi setelahnya. Tapi tetap saja aku tidak bisa untuk melupakanmu, bagaimana raut wajahmu yang mungil berbalut jilbab biru kesukaanmu tertawa terbahak-bahak dengan hal-hal konyol yang aku perbuat atau sebaliknya.

Bagaimana raut wajah ngambekmu kala kamu sedang marah padaku dulu. Dan kenangan ketika kedua tangan kita bergandengan saat menikmati malam di sudut kota.

Malam hari di bulan Juli, kala itu di sebuah stasiun kereta aku mengantarkanmu untuk pulang ke Semarang. Dengan mata berkaca-kaca, kau menahan air mata sembari menggenggam tanganku dengan erat. Ah... ini tak biasa, sahutku dalam hati kecil.

"Aku ingin katakan sesuatu, tapi kamu janji jangan marah."

Dengan bingung, tak tahu apa maksudnya. Aku pun hanya mengangguk dan terdiam tak tahu harus apa. Lagipula yang kutahu aku hanya ingin mengantarnya ke stasiun untuk naik kereta yang akan mengantarnya pulang ke kota tempat asalnya.

Di situ, kau berpamitan sembari menatapku dalam. Dan, ah, aku benar-benar tak pernah lagi melihat mata seindah mata itu serta pelukan hangat darimu.


Ahhhh..... Aku tak tahu apa yang aku rasakan, tapi aku seakan terpana melihatmu  dan tak ada yang mampu aku ucapkan kepadamu. Yang ku tahu rasa nyaman dan hangat kala bersamamu.

Sampai pada akhirnya, kau mengucapkan kata yang membuat diriku seakan tak rela melepas genggaman tanganmu yang sedari tadi menggenggam erat jari jemariku.

"Ayahku memintaku untuk pulang ke Semarang, dan kamu pasti tau maksud Ayahku. Aku pun mau ga mau harus nurutin mau Ayahku."

Dengan rasa terkejut, aku pun berdiam seribu bahasa, Yang ku tahu hatiku terasa pilu mendengar perkataanmu dan tak mampu lagi melihat nanar matamu yang kian berkaca-kaca.

"Tapi....... kita tetap masih bisa berhubungan kan?" ucapku sembari terbata-bata.

Tanpa kusadari air mataku pun jatuh, dan dia pun hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaanku.

Ia memelukku. Untuk yang terakhir kalinya. Dan Ia hanya tersenyum seakan seribu kata yang ada dibenakku yang ingin kubisikkan di telinganya telah Ia mengerti tanpa harus di utarakan kepadanya.

"Aku tak ingin kamu pergi. Aku ingin terus bersamamu. Nanti siapa yang akan aku isengin kalo tak ada kamu di sisiku." bisikku.

Sembari melepas pelukan eratnya, dan tertawa lirih. "Maafin aku ya." ucapnya sembari menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Mungkin nanti akan ada wanita lain yang akan menggantikan aku. Ini ada buku diary ku mungkin bisa kamu baca isinya untuk melepas rindumu suatu hari nanti." sembari memberikan buku diary-nya di akhir pertemuan kita.

Tak berselang lama, kereta yang akan membawanya pulang pun datang dan Ia pun dengan langkah pasti perlahan-lahan meninggalkan aku sesekali menoleh ke arahku.

Ia menangis tersedu-sedu. Aku meminta maaf. Sampai akhirnya perlahan gerbong kereta yang ditumpangi dia pun melintas di depanku.

Kau masih menengok dan melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya kereta perlahan-lahan hilang dari pandanganku.

Sembari berjalan keluar dari stasiun, aku pun terus membayangkan wajah mungil nan lucu-nya sambil menggenggam erat buku diary pemberiannya.

Masih teringat jelas bagaimana lucu suaramu ketika tertawa riang. Masih ingat sepatu teplek yang kau bilang sepatu kesukaanmu. Masih ingat jelas wangi dan mata indahmu.

Aku tak kan tahu akan seperti apa esok, yang pasti ku tahu, kau adalah Sonya.

*********


DenChito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar